Apakah Kita Sudah Merdeka dalam Bermusik?

Oleh: Kharisma Cahayati (Delegasi Puspa Karima untuk Lokovasia 2024)

Dewa Alit saat mengisi Masterclass salah satu kegiatan Lokovasia 2024 (foto: Kharisma)



Puspa Karima kembali hadir menyelimuti suasana meriah di Universitas Negeri Malang saat digelarnya Lokovasia 2024 hari ke-5 (5/9). Kegiatan yang berlangsung selama delapan hari ini berhasil menyatukan para musisi, komponis, peneliti, dan grup musik dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam lokakarya hari ke-5 ini, peserta diajak untuk berkenalan dengan berbagai jenis musik tradisional, mulai dari karya Kidung Layung oleh grup musik Sanggar Parikesit Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah. Kemudian ada juga Ni Made Ayu Dwi Sattvitri seorang musisi dari Bali yang tampil memperkenalkan gamelan Bali yakni gender wayang melalui berbagai gaya dan fungsi seperti pengiring wayang dan ritual ngaben. Elaborasi selanjutnya penampilan komposisi karya Sengkarut oleh komponis asal Wonogiri, Jawa Tengah yaitu Wahyu Thoyyib Pambayaun. Sengkarut ini merupakan sisipan 3 karya berdasarkan notasi Rante yang sejak lama telah ada dan tertulis pada literatur Sastra.org oleh Warsito Diningrat tahun 1920-1945. Penggunaan dua gender dan satu gambang dalam karya Sengkarut, mampu disajikan dengan komposisi karya yang utuh, terstruktur dan seimbang.


Untuk penutupan sesi elaborasi hari ini  dipungkas oleh Kidung Lontar karya dari komunitas Munsing asal Banyuwangi. Mocoan Pacul Goang Banyuwangi menjadi latar belakang diangkatnya karya Kidung Lontar. Karya ini menyajikan musik tontonan dan tuntunan yakni nilai tradisi tentang menjaga ucap dan perilaku dalam kehidupan. Selain sesi elaborasi, Lokovasia 2024 memfasilitasi peserta dengan kegiatan Masterclass yang dipandu oleh mentor ahli yakni Komponis asal Bali Dewa Alit dan Jean David Caillouet.


Jean David atau lebih akrab disapa Mr. JD adalah seorang etnomusikologi Asia Tenggara, designer, ilustrator, dan visual art. Dalam karyanya, Mr. JD menuangkan beragam jenis musik tradisi serta suara lingkungan dari berbagai daerah seperti Bangkok, Singapura, Kamboja, dan saat ini Indonesia menjadi bagian dari projeknya. Menurutnya suatu perjalanan atau traveling akan sia-sia jika kamera yang berada dalam saku tidak digunakan untuk memotret atau mengambil video sejarah dan cerita masyarakat lokal. Karya musik pertamanya berjudul Angkor Journey tahun 1998-2000 di Kamboja yang merekam banyak bunyi/suara sekitar dengan tujuan mengedukasi kepada banyak orang agar mengingat pentingnya mendengarkan lingkungan alam diluar dari tanah Eropa. “Musik adalah bentuk komunikasi melalui bunyi, jadi saya mendengarkan seluruh jenis musik. Pemahamam musik dari budaya/negara lain sangat penting karena akan membantu manusia untuk saling memahami dan menjalin hubungan” ujar Mr. JD. 


Secara keseluruhan Mr. JD tidak membahas mengenai musik dengan mendalam, namun mengajak seluruh penggiat musik untuk memahami cara berkomunikasi bunyi, pengarsipan suara, dan teknik rekaman/visual. Alasannya karena dampak globalisasi menyebabkan penjajahan musik modern yang berdampak pada berkurangnya minat terhadap musik tradisi.

Gong besar dan gong suwun anam instrumen yang digunakan Sanggar Parikesit,(Foto: Kharisma)


Berbeda dengan perspektif mengenai musik menurut Dewa Alit dimana musik merupakan caranya memandang Dunia. Dewa Alit merupakan seorang komponis, musisi, pendiri grup musik yang aktif di wilayah gamelan tradisi Bali. Grup Gamelan Cudamani menjadi salah satu wadah yang dibentuk oleh Dewa Alit. Karyanya dalam album Gamelan Evolusi tahun 1998 merupakan bentuk kritik bahwa gamelan tidak hanya sebuah melodi dan tidak hanya berpatok pada salendro atau pelog. Dewa Alit membuat gamelan salukat sebagai sistem pengembangan dimana sistem pelarasannya berbeda dari gamelan biasa. Konsep gamelan Bali selalu lekat dengan sistem nada yang berpasangan, ia berhasil memecah sistem nada tersebut dan berfokus pada getaran bunyi yang dihasilkan oleh gamelan. “Musik di dunia ini sudah dirasa jenuh, meski melakukan inovasi, Saya tidak mau lepas dari akarnya. Tentunya saat melakukan inovasi, pemilihan laras, harmonisasi, komposisi, dan struktur harus benar-benar dirasa seimbang serta teliti agar tidak menghilangkan keasliannya.” tutur Dewa Alit.


Setyawan Jayantoro, ketua pelaksana acara menyimpulkan akhir dari kegiatan Masterclass dari Dewa Alit dan berharap agar Lokovasia ini dapat membuka ruang spirit dalam bermusik yang sudah lama terjajah oleh industrialisasi agar seluruh peserta mampu membawa pulang spirit tersebut dan membangun serta menyebarkannya saat kembali ke rumah komunitasnya.


Ketika musik menjadi salah satu cara berkomunikasi manusia, tidakah kita menyadari bahwa aliran, cara, dan selera bermusik kita terjajah? tentunya setiap manusia memiliki perspektif yang berbeda dalam menangkap musik. Tidak ada batasan untuk berkarya dalam musik ketika sudah memahami dan menguatkan akarnya.


Editor: dpebriansyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar