Dok : Sanggar Rancamanik |
Sabtu dan Minggu Tanggal 27-28 November 2021, sanggar Rancamanik,
Ranca Buaya, Garut menggelar sebuah acara bertajuk "Festival
Dogdog-Calung" atau disebut juga Festival Dogcal. Kegiatan ini berlangsung
di lapangan Leuweung Datar Kp. Bojong RT 05 RW 02, Desa Purbayani, Kecamatan
Caringin, Rancabuaya Garut Selatan.
Seni Dogcal merupakan kolaborasi dari dua bentuk kesenian yaitu Seni Dogdog dan Seni Calung. Dog dog merupakan alat tepuk khas Sunda yang biasanya berjumlah empat instrumen dan dimainkan juga oleh empat orang. Bentuknya seperti tabung dimana salah satu ujungnya ditutup menggunakan kulit sebagai membran suara. Kulit ini dikencangkan menggunakan pasak dari kayu yang ditempel dalam lilitan rotan. Sementara calung disini adalah calung jingjing yang merupakan instrumen musik berbahan dasar bambu berlaras salendro.
Dok : Sanggar Rancamanik |
Festival yang berlangsung dengan meriah
namun tetap mematuhi protokol kesehatan ini mendatangkan juri dari seniman dan
akademisi ahli Karawitan diantaranya yaitu Dr. Lili Suparli M. Sn, Edi mulyana,
M. Sn, Tarjo Sudarsono M. Sn dan Nanang Suhendi. Penilaian festival ini
meliputi unsur musikalitas, gerak, cerita yang dibawakan secara komedi, kostum,
dan lirik lagu. Festival yang diikuti oleh remaja dan dewasa tersebut
dimenangkan oleh grup IT Purnama (remaja) dan Napak Sancang (dewasa). Acara ini
dapat berlangsung berkat dukungan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan
Riset Teknologi melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2021.
Mengapa "Perkawinan" Tersebut Terjadi?
Ditengah gagap gempitanya arus globalisasi,
kehidupan seni tradisi terus mengalami guncangan. Dimulai dari eksistensi,
regenerasi. Apresiasi dan bahkan distraksi. Seni yang menjadi ciri dari salah satu kehidupan masyarakat perlahan
mulai mengalami pergeseran. Tidak hanya menyasar wilayah pemaknaan, pergeseran
tersebut menyambar wilayah tafsir dari masyarakat dan bahkan seniman pelakunya.
Sebuah upaya untuk menjaga keberlangsungan seni tersebut adalah kerja kolektif antara elemen-elemen yang tergabung ke dalam sebuah ekosistem budaya. Sanggar Rancamanik, Ranca Buaya misalnya, mereka bersikeras untuk mengibarkan kembali kesenian yang mulai memudar. Dengan melibatkan berbagai unsur, mereka berupaya memantik kembali api kejayaan dua seni yang mulai padam.
Dok : Sanggar Rancamanik |
Melalui festival, bukan berarti hanya
mencari siapa terbaik, siapa unggul atau siapa yang paling terampil. Melalu
kegiatan semacam ini, sejatinya memantik kembali semangat berkesenian untuk
dapat tampil di panggung publik.
Kemudian, mengapa kolaborasi dua kesenian
harus dilakukan?. Tentu hal demikian adalah upaya mencari tafsir baru atau
respon terkini terhadap gejolak kesenian yang mengalami pasang-surut di lautan
yang bernama "era globalisasi". Jika menurut pepatah sepuh ada
tawaran konsep "ngigelan jaman" atau "ngindung ka waktu mibapa
ka zaman" maka Festival Dogcal merupakan aplikasi dari hal tersebut.
Tantangan kedepan yang harus dihadapi adalah bagaimana sistem yang dinamakan "ekosistem budaya" dapat bekerja sesuai fungsinya. Seperti hasil akhir yang diharapakan oleh Irpan Sopiandi, yaitu menjadikan Dogcal sebagai ikon Rancamanik, Ranca Buaya, maka peran dari Pemerintah, Masyarakat, dan Seniman harus bergerak "Sabilulungan". Semoga Festival Dogcal ini dapat berlangsung di tahun-tahun berikutnya, hingga dua kesenian yang "dikawinkan" ini segera melahirkan anak yang ditunggu-tunggu oleh semua kalangan. Lantas apa anak yang lahir dari "perkawinan" tersebut? yaitu kreativitas.
Penulis: Dpebriansyah (Venol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar