Oleh: Dikdik ‘Venol’ Pebriansyah
Foto: Venolisme |
Suara sepatu bot yang berdegup, tidak ada habisnya keluar dari kaki dua lelaki yang mengenakan mantel berwarna hitam dan cokelat. Mereka mondar-mandir seperti kebingungan. Masing-masing menatap jauh ke atas, seperti merindukan suatu hal. Kadang keduanya saling berinteraksi sambil bersentuhan, silih berbagi candaan bahkan sama-sama rebutan topi atau keresek. Ketika ada suara kereta lewat, mereka bergerak kegirangan. Namun, selanjutnya mereka diam kembali seperti merindukan seseorang. Klakson kereta seolah menambah energi mereka untuk melompat-lompat dengan ria. Hal tersebut dilakukanya berulang. Aktivitas mereka hanya ditemani tiga buah pintu yang digunakan sebagai tempat sembunyi, kadang dijadikan semacam selimut, ada juga bel yang berbunyi dengan dua nada bergantian dan kantong keresek yang entah apa isinya.
Pertengahan adegan muncul dua manusia berambut gondrong dan plontos. Mereka datang dengan letupan suara gesper yang dilecutkan. Sembari membawa dua koper, sosok berambut botak itu meronta-ronta, menghasilkan suara desahan dari mulutnya. Sementara orang berambut panjang banyak memproduksi suara dari gesper yang ia mainkan bak pecut. Ada pula gerakannya seperti menghisap roko. Dengan sedotan yang dalam dan penuh nikmat, ia hasilkan suara dari mulutnya dengan riuh.
Kisah diatas hanya sepenggal adegan dari pementasan ‘Godot Menunggu’ karya Samuel Beckett yang disutradarai oleh Rachman Sabur, Produksi Teater Payung Hitam. Lakon tersebut diperankan oleh M. Wali Irsyad, Dede Dablo, M. Chandra Irfan, dan Christie V. Laloan. Pertunjukan tersebut merupakan bagian dari acara 4th Invitation to the Theatre 2019, yang diselenggarakan Jurusan Teater ISBI Bandung tiap dua tahun sekali sejak 2009. ‘Godot Menunggu’ dipentaskan pada tanggal 29 dan 30 November 2019 di Gedung Kesenian Dewi Asri ISBI Bandung.
‘Godot Menunggu’ merupakan tafsir pertunjukan dari teater kata-kata yang pernah dipentaskan tahun 1991 oleh Teater Payung Hitam. Tahun 2019, Rachman Sabur kembali menggarapnya serta menginterpretasi naskah karya sastrawan Irlandia tersebut menjadi teater tubuh.
Kamus Bunyi
Pementasan ‘Godot Menunggu’ diperankan oleh aktornya atas respon tubuh sebagai kata-kata itu sendiri. Tanpa percakapan, tubuh mereka berbicara dengan sendirinya terhadap penonton. Ada pesan kuat yang ingin disampaikan aktor dengan kekuatan praktik tubuhnya. Penonton memiliki keluasan untuk menafsir pertunjukan tesebut. Kekuatan panggung tanpa teks percakapan verbal tersebut memantik imajinasi lebih liar. Tiap individu dapat memiliki tafsir yang beragam atas pertunjukan ‘Godot Menunggu’. Pertunjukan ini lebih hidup karena menawarkan wacana interpretasi yang beragam bagi penonton. Pementasan yang berlangsung kurang lebih satu jam itu memecah aneka pemahaman, renungan, kegelisahan sekaligus pertanyaan.
Dari sekian gerak respon aktor terhadap naskah pertunjukan, yang menjadi titik perhatian saya adalah produksi bunyi yang dihasilkan oleh aktor. Selain itu, yang menarik adalah bebunyian yang dihasilkan lingkungan sekitar sehingga menjadi catatan tersendiri bagi pementasan ini. Bunyi-bunyi yang hadir malam itu menjadi pertunjukan seni yang menggiring saya menuju wacana pemandangan bunyi. Seperti karya 4’33’’ yang pernah dipentaskan oleh John Cage sang Komponis Avant Garde dari Amerika tahun 1952.
Pertunjukan karya yang berisi ‘diam’ oleh para pemainnya, merupakan silent piece yang durasinya ditetapkan oleh Cage yaitu selama empat menit tiga puluh tiga detik. Karya yang dipentaskan di Living Theatre, New York, memicu kejutan yang sangat besar bagi para audiens saat itu. Panggung besar bergaya barat dan mewah diisi oleh audiens dengan tata krama konservatif dalam meyaksikan pertunjukan, awalnya mereka hanya diam, namun kemudian mencemooh dan meninggalkan ruangan. Namun, terlepas dari keadaan demikian, Cage menyelesaikannya pertunjukan dengan durasi yang telah ia rencanakan.
Karya tersebut membuat banyak penonton kesal. Bagaimana tidak, setelah memberi tiket konser yang mahal namun hanya menyaksikan pemain piano yang hanya membuka dan menutup papan pelindung tuts. Penonton pun geram melihat konduktor yang hanya diam menggengam stopwatch tanpa memainkan dan meliuk-liukan baton. Menurut Mazo, dalam Cage Conversation with Joseph H (1983), Cage menyimpulkan bahwa “suara-suara seharusnya dihargai, bukan diperbudak, karena setiap hal baik yang berkesadaran atau tidak, merupakan pusat dari alam semesta”. Pertunjukan ‘4’33’’ merupakan karya yang menawarkan pemaknaan terhadap pemandangan bunyi di sekitarnya. Dalam gedung pertunjukan yang berisi banyak orang, di sana hadir suara orang mengobrol, suara batuk, suara kecamaan, suara orang menggerutu, mungkin suara hujan, petir dan pintu yang dibanting keras. Pertunjukan tersebut hanya menampilkan ‘diam’. Hingga saati ini, karya John Cage tersebut masih mendapat perdebatan, apakah karya musik atau bukan.
Foto: Venolisme |
Karya ‘4’33’’ menurut Anjani dalam Apa itu Musik (2014), “bahwa karya John Cage bukan sebuah karya musik tapi karya seni yang bergagasan musikal. Seseorang dapat menemukan konsep dramatis dan makna musikal darinya”. Hal tersebut Anjani tutur karena menurutnya musik terdiri dari nada, tangganada, birama, nilai, not, tanda diam, harmoni, melodi, irama, dinamika, kalimat, artikulasi, struktur, tekstur, pola, dsb. Secara universal, musik diseluruh dunia setidaknya terdiri dari nada dan irama. Maka dapat disimpulkan bahwa musik adalah bunyi yang diorganisasi.
Dalam pementasan ‘Godot Menunggu’ banyak bermunculan pemandangan bunyi yang bisa kita tangkap saat pertunjukan berlangsung. Seperti misalnya bunyi bot pemain yang mondar-mandir, bunyi batuk penoton, bunyi motor RX-King yang menyelinap masuk gedung, ada juga bunyi botol air kemasan yang terinjak, suara jepretan kamera dan masih banyak lagi.
Jika kita sepakat dengan Cage, yang menyatakan “suara-suara seharusnya dihargai, bukan diperbudak, karena setiap hal baik yang berkesadaran atau tidak, merupakan pusat dari alam semesta”, maka ‘Godot Menunggu’ merupakan karya teater tubuh yang mampu menggiring penonoton terhadap kesadaran bebunyian. Hal demikian akibat banyaknya pemandangan bunyi muncul sebagai kepingan yang tidak disadari dari pertunjukan tersebut. Pemandangan bunyi yang muncul menjadi pengiring pertunjukan para aktor atas praktik tubuhnya.
Dari pertunjukan tersebut kita dapat mengambil konsep kesadaran terhadap bunyi di sekitar lingkungan yang begitu penting bagi hidup manusia. Selain itu, kita berlatih mendengarkan macam-macam pemandangan bunyi yang muncul selama pementasan. Menurut Nakagawa dalam Musik dan Kosmos, Sebuah Pengantar Etnomusikologi (2000), berkata bahwa “semakin banyak pemandangan bunyi yang didengarkan, maka seseorang dinilai peka dan mampu mendengar suara dengan betul”. Pemandangan bunyi memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana jika kita melatih dan mempelajarinya, kita pun dapat memperoleh pengertian bunyi dalam konteks yang sangat luas.
Hari ini kesadaran akan bunyi mulai banyak diabaikan, seperti contoh dalam keseharian, kita banyak mengkonsumsi bunyi-bunyi yang dapat menganggu kesehatan mental dan fisik. Menurut Slamet Abdul Sjukur polusi kebisingan adalah salah satu masalah terbesar abad ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar